madi bazau
Kamis, 15 Desember 2011
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) di Provinsi Lampung tergolong tinggi. Pelanggaran ini
terutama terjadi akibat konflik agraria dan sumber daya alam.
"Di Indonesia, kasus pelanggaran HAM di Lampung termasuk yang tertinggi setelah Papua dan NAD. Kasus di Lampung dan Sumsel adalah yang tertinggi di Sumatera," ujar Indra Firsada dari Koalisi Masyarakat Sipil dalam unjuk rasa terkait peringatan HAM, Senin (12/12/2011) di Bandar Lampung.
Serangkaian kasus yang diduga berupa pelanggaran HAM ini antara lain adalah kasus Talangsari di Lampung Timur, pengusiran warga di kawasan Register 45 Mesuji, pengabaian hak petambak plasma di Rawajitu, pembongkaran Pasar Unit II Tulang Bawang, dan yang terakhir penembakan petani di Mesuji yang mengakibatkan tewasnya satu warga.
Namun, yang disayangkan, dari sekian banyak kasus ini, hampir tidak ada yang kasusnya masuk dalam ranah pengadilan.
"Di Indonesia, kasus pelanggaran HAM di Lampung termasuk yang tertinggi setelah Papua dan NAD. Kasus di Lampung dan Sumsel adalah yang tertinggi di Sumatera," ujar Indra Firsada dari Koalisi Masyarakat Sipil dalam unjuk rasa terkait peringatan HAM, Senin (12/12/2011) di Bandar Lampung.
Serangkaian kasus yang diduga berupa pelanggaran HAM ini antara lain adalah kasus Talangsari di Lampung Timur, pengusiran warga di kawasan Register 45 Mesuji, pengabaian hak petambak plasma di Rawajitu, pembongkaran Pasar Unit II Tulang Bawang, dan yang terakhir penembakan petani di Mesuji yang mengakibatkan tewasnya satu warga.
Namun, yang disayangkan, dari sekian banyak kasus ini, hampir tidak ada yang kasusnya masuk dalam ranah pengadilan.
Contoh pelanggaran HAM di Indonesia sangat banyak, salah satunya pada anak-anak. Contoh pelanggaran HAM
pada anak-anak dapat terjadi saat hak anak di abaikan. Anak merupakan
masa depan bangsa, jadi tidak ada pengecualian, hak asasi manusia untuk
anak perlu di perhatikan. Contoh-contoh pelanggaran hak asasi manusia
pada anak seperti pembuangan bayi, penelantaran anak, gizi buruk hingga
penularan HIV/Aids. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan
Anak (Komnas PA), kasus pembuangan bayi di Indonesia yang umumnya
dilakukan kalangan orang tua mengalami peningkatan.
Seperti yang saya baca beritanya di Republika, ternyata pada tahun 2008, Komnas PA menerima pengaduan kasus pembuangan bayi sebanyak 886 bayi. Sedangkan tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 904 bayi. Tempat pembuangan bayi juga beragam, mulai dari halaman rumah warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api, hingga selokan dan tempat sampah.
Dari laporan yang didapatkan dari masyarakat, sekitar 68 persen bayi yang dibuang tersebut meninggal dunia, sedangkan sisanya diasuh masyarakat atau dititipkan di panti asuhan.
Kemudian, dari data yang didapatkan dari Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Komnas PA menemukan sekitar 5,4 juta anak yang mengalami kasus penelantaran. Sedangkan anak yang hampir ditelantarkan mencapai 17,7 juta orang.
Contoh pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi pada anak adalah gizi buruk (marasmus kwasiokor) yang berdasarkan dari UNICEF, badan PBB untuk perlindungan anak, jumlahnya mencapai 10 juta jiwa di Indonesia.
Dalam data Komnas PA, salah satu wilayah yang paling terjadi kasus gizi buruk itu adalah Sumatera Barat.
Di Sumatera Barat, 23 ribu anak dari 300 ribu usia balita mengalami gizi buruk. Namun Arist Merdeka Sirait menyatakan, kasus gizi buruk dan kekurangan gizi juga banyak terdapat di daerah lain.
Adapun kasus penularan HIV/Aids di Indonesia, terdapat 18.442 kasus orang tua yang menderita penyakit mematikan tersebut hingga September 2009. Mereka, kata Aries, tentu berpotensi menularkan terhadap anak berdasarkan laporan yang didapatkan dari Kementerian Kesehatan.
Seperti yang saya baca beritanya di Republika, ternyata pada tahun 2008, Komnas PA menerima pengaduan kasus pembuangan bayi sebanyak 886 bayi. Sedangkan tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 904 bayi. Tempat pembuangan bayi juga beragam, mulai dari halaman rumah warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api, hingga selokan dan tempat sampah.
Dari laporan yang didapatkan dari masyarakat, sekitar 68 persen bayi yang dibuang tersebut meninggal dunia, sedangkan sisanya diasuh masyarakat atau dititipkan di panti asuhan.
Kemudian, dari data yang didapatkan dari Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Komnas PA menemukan sekitar 5,4 juta anak yang mengalami kasus penelantaran. Sedangkan anak yang hampir ditelantarkan mencapai 17,7 juta orang.
Contoh pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi pada anak adalah gizi buruk (marasmus kwasiokor) yang berdasarkan dari UNICEF, badan PBB untuk perlindungan anak, jumlahnya mencapai 10 juta jiwa di Indonesia.
Dalam data Komnas PA, salah satu wilayah yang paling terjadi kasus gizi buruk itu adalah Sumatera Barat.
Di Sumatera Barat, 23 ribu anak dari 300 ribu usia balita mengalami gizi buruk. Namun Arist Merdeka Sirait menyatakan, kasus gizi buruk dan kekurangan gizi juga banyak terdapat di daerah lain.
Adapun kasus penularan HIV/Aids di Indonesia, terdapat 18.442 kasus orang tua yang menderita penyakit mematikan tersebut hingga September 2009. Mereka, kata Aries, tentu berpotensi menularkan terhadap anak berdasarkan laporan yang didapatkan dari Kementerian Kesehatan.
SIARAN PERS
No: 01/B/SP-KontraS-SU/I/06
No: 01/B/SP-KontraS-SU/I/06
“Pemerintah Propinsi Sumatera Utara telah melakukan pengabaian terhadap hak asasi manusia di Sumatera Utara”
(Kilas Balik Kondisi Hak Asasi Manusia di Sumatera Utara Tahun 2005)
Pemerintah propinsi Sumatera Utara telah gagal
melindungi dan menghormati hak asasi manusia di Sumatera Utara. Tahun
2005, merupakan tahun kelam bagi upaya penegakan HAM di Sumatera Utara.
Upaya penegakan HAM telah kembali ke titik nol. Konsolidasi para
pelaku untuk menghindari proses hukum atas tindakan pelanggaran HAM
yang mereka lakukan semakin menguat. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang
terjadi tidak pernah di selesaikan untuk memberikan rasa keadilan bagi
para korban. Sementara para pelaku masih tetap dapat bebas tanpa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.
Berdasarkan catatan KontraS Sumatera Utara, sejak
Januari s/d Desember 2005 kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh aparat kepolisian terjadi sebanyak 38 kasus. Ini menunjukkan tidak
profesionalnya aparat kepolisian sebagai institusi yang seharusnya
bertindak sebagai Pelindung dan Pengayom masyarakat. Di satu sisi, kita
pantas mengapresiasi niat baik dari aparat kepolisian dalam
memberantas perjudian dan korupsi, akan tetapi pada sisi yang lain
praktek kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan masih terus dilakukan
sehingga citra kepolisan akan semakin buruk di mata masyarakat jika
institusi ini tidak segera “berbenah diri” untuk dapat mengembalikan
kepercayaan masyarakat yang telah hilang selama ini.
Dari sebanyak 174 kasus pelanggaran HAM yang berhasil
di pantau dan dicatat, diantaranya terdapat kasus pembunuhan di luar
prosedur hukum sebanyak 10 kasus, penangkapan sewenang-wenang terdapat
sebanyak 44 kasus, kasus penembakan sebanyak 4 kasus, penculikan dan
penghilangan nyawa secara paksa 3 kasus, penyiksaan dan penganiayaan 93
kasus, Pengambilalihan lahan secara paksa 20 kasus.
Dari data kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi
sepanjang tahun 2005 tersebut, menunjukkan bahwa ternyata regulasi dan
institusi penegakan HAM yang ada ternyata tidak mampu untuk
menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran HAM yang terjadi. Berbagai
regulasi dan institusi tersebut hanya upaya untuk menghindari
intervensi internasional atas persoalan penegakan HAM di Indonesia,
sehingga praktek-praktek impunitas terus saja berlangsung. Pemerintah
propinsi Sumatera Utara sepanjang tahun ini tidak memmiliki komitment
dan agenda yang jelas dalam penegakkan HAM di Sumatera Utara. Tuntutan
rakyat agar dibentuknya Komda HAM tidak pernah di sahuti serta
kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah diusut dsan
dituntaskan.
Oleh sebab itu, untuk mendorong upaya penegakan HAM di Sumatera Utara, KontraS Sumatera Utara mendesak untuk:
- Segera dibentuk Komda HAM (Komisi Daera HAM) di Sumatera Utara.
- Segera dibentuk Komisi HAM di DPRD Sumatera Utara.
- Segera melakukan desentralisasi di tubuh Kepolisian RI.
Demikian Siaran Pers ini kami perbuat untuk segera dapat di tindak lanjuti oleh pihak-pihak yang terkait.
"Pemerintah AS bukan hanya sudah gagal mengambil langkah untuk menghapus penyiksaan, tapi sudah menimbulkan iklim di mana penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang bisa makin meluas, termasuk dengan cara upaya AS mempersempit definisi penyiksaan," kata Curt Goering, Deputi Senior Direktur Eksekutif Amnesty Internasional di AS.
"Meskipun pemerintah AS terus melontarkan kecamannya terhadap tindak penganiayaan dan tindakan yang sewenang-wenang, pernyataan mereka bertentangan dengan apa yang mereka lakukan di lapangan," sambung Goering.
Laporan AI tersebut sudah dikirim ke Komite PBB Anti Penyiksaan untuk diteliti sejauh mana AS sudah melakukan pelanggaran terhadap konvensi internasional anti penyiksaan dan kekezaman lainnya, melakukan tindakan atau hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Komite PBB yang anggotanya terdiri dari para ahli itu melakukan kajian secara periodik terhadap negara-negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, dan untuk AS rencananya akan dilakukan pada hari Jumat (5/5) besok. Kajian terhadap pelanggaran HAM AS dilakukan pada tahun 2000 lalu.
Laporan AI sepanjang 47 halaman menyebutkan bahwa penganiayaan 'mejalela' di penjara-penajara milik AS yang ada di Irak, Afghanistan, Guantanamo dan di beberapa tempat lainnya.
"Bukti-bukti atas makin meluasnya penyiksaan dan tindakan kejam lainnya, serta perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia terhadap para tahanan yang ada di penajara-penajara AS, terus bermunculan," demikian bunyi laporan itu, yang juga mencantumkan kasus-kasus tahanan yang tewas di penjara-penjara AS di Irak dan Afghanistan akibat penyiksaan.
Laporan AI juga menyebutkan, terkait dengan maraknya pelanggaran HAM yang dilakukan AS tidak ada satupun agen-agen AS yang dituntut atas tindak kekezaman dan kejahatan perang.
"Hukuman terberat yang dijatuhkan pada orang yang terlibat dalam kasus tewasnya tahanan akibat penyiksaan di penjara AS, cuma lima bulan-sama dengan hukuman yang mungkin anda terima di AS jika ketahuan mencuri sepeda," kata Goering.
"Dalam kasus ini, hukuman lima bulan diberikan pada pelaku yang telah menyiksa seorang sopir taxi berusia 22 tahun, yang kepalanya ditutup dan dirantai ke atas atap sambil ditendangi dan dipukuli hingga tewas," sambug Goering.
Belum lagi kasus-kasus lainnya, seperti penganiayaan terhadap para tahanan Irak di penjara Abu Ghraib yang sempat ditayangkan oleh televisi Australia beberapa waktu lalu, foto-foto dan video yang memperlihatkan kondisi para tahanan, beberapa di antara dalam keadaan berdarah-darah, kepalanya ditutup, diikat ke tempat tidur atau pintu dengan penjaga AS yang tersenyum-senyum di samping para tahanan yang disiksa itu.
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) bahkan menyebut gambar-gambar itu sangat mengerikan dan merupakan bukti yang jelas atas pelanggaran hukum internasional tentang kemanusiaan.
Dalam laporannya, AI menjelaskan bahwa langkah-langkah yang dilakukan AS dalam merespon kasus-kasus penyiksaan di penjara-penjara yang dikelolanya atas dasar apa yang mereka sebut perang terhadap terorisme, masih sangat jauh dari cukup.
"Ketika pemerintah AS terus-menerus mengklaim bahwa penyiksaan terhadap para tahanan di penjara-penjaranya terutama dilakukan oleh segelintir prajuritnya yang menyimpang, ada bukti yang nyata yang mengatakan sebaliknya," kata Javier Zuniga, Direktor AI untuk program AS.
Ia mengungkapkan, kebanyakan penyiksaan dan dan tindakan sewenang-wenang dilakukan secara langsung berdasarkan prosedur sangsi dan kebijakan yang resmi, termasuk teknik interogasi yang disetujui langsung oleh Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld.
Beberapa surat kabar AS sudah banyak yang menurunkan laporan tentang keterlibatan Rumsfeld dan mantan komandan AS di Irak, Letnan Jenderal Ricardo Sanchez yang memberikan wewenang dan kebebasan pada para tentara AS yang bertugas di Abu Ghraib untuk mengadopsi beragam taktik penyiksaan dan penganiyaan yang digunakan di kamp penjara Guantanamo.
"AS sudah lama melakukan pendekatan yang selektif atas standar-standar yang berlaku secara internasional, tapi beberapa tahun belakangan ini, pemerintah AS telah mengambil langkah-langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya untuk mengabaikan kewajibannya terhadap kesepakatan-kesepakatan internasional," papar Zuniga.
"Ini merupakan ancaman yang bisa merusak seluruh kerangka hukum hak asasi internasional-termasuk konsensus larangan keras terhadap penyiksaan dan kekezaman lainnya, hukuman dan tindakan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia," tegas Zuniga. (ln/iol)
4. PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.
Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia”
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.
Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia”
Langganan:
Postingan (Atom)